Selamat Datang dan Terima Kasih Telah Berkunjung di Blog Rekam Jejak Kawula, berisikan muatan kisah dan gagasan dari pribadi saya, Makmun Aryadi
  • Launching Majalah SHIMA Edisi XI, Juni 2012
  • Launching Majalah SHIMA Edisi XI, Juni 2012
  • Launching secara simbolik Majalah SHIMA Edisi XI, Juni 2012 oleh Mayadina Rahma Mushfiroh, S.Hi., MA. (Pembantu Dekan III)dengan Makmun Aryadi(Pimpinan Umum Bursa 2011-2012)
  • Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) adalah kampus tertua di Jepara. Berdiri sejak 1989 M
  • Makmun Aryadi
  • Ngobrol bersama Hubeb Muhajir (PU LPM Paradigma Kudus 2011-2012 dan M. Iqbal Arifin)
  • Berjabat tangan dengan Dedi Merisa, S.Hi, Pimpinan Redaksi LPM Bursa 2006-2007
  • ngobrol dengan Hasyim, S.Pd (Kaur DISNAKERTRANS Jepara)
  • Berjabat tangan dengan M. Ali Burhan (PU LPM Bursa 2006-2008)
  • Launching SHIMA Edisi X, Januari 2012 secara simbolik oleh Drs. KH. A. Bahrowi, TM., M.Ag
  • Di sela-sela kepadatan Lay out, santai dulu
  • Potong Tumpeng sebagai simbol di launchingnya SHIMA Edisi X, Januari 2012
  • Menengadah, yakin bahwa sukses itu pasti datang

Senin, 24 Desember 2012

Kuatkan Spiritual Melalui Pelatihan Basis Aswaja

Kembang- Setelah beberapa kali pertemuan, FKPT (Forum Komisariat Pantura Timur) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia memupuk spiritual para kadernya dengan mengadakan Pelatihan Basis.

Nur Sahrul, Ketua Panitia memberikan sambutan dalam Pelatihan Basis Aswaja, di Kembang, Jepara kemarin.

FKPT yang merupakan sebuah forum koordinasi pengurus komisariat-komisariat dari 7 kabupaten di wilayah pantai utara Jawa Tengah sebelah timur yang meliputi Jepara, Kudus, Demak, Grobogan, Pati, Rembang dan Blora mengadakan Pelatihan Basis Aswaja sejak kemarin (23/12) di gedung MWC NU Kembang Jepara, sebagai hasil rekomendasi pada pertemuan yang terakhir kali di gedung muslimat NU Tanjung Kudus beberapa bulan yang lalu.

Pelatihan basis ini sedikit berbeda dengan pelatihan-pelatihan basis sebelumnya, kali ini lebih menekankan pada aspek spiritual, yakni ahlus sunnah wal jama’ah (Aswaja) yang merupakan salah satu unsur ideologi yang diusung PMII ini sendiri.

Tidak tanggung-tanggung, pemateri yang dihadirkan dalam pelatihan ini adalah tokoh-tokoh yang punya cappable dalam mengajak para kader PMII lebih memahami Aswaja dalam kerangka pikir dan pengaplikasiannya. Aswaja bukanlah hanya dalam teori belaka, tetapi harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana penuturan Nur Sahrul, Ketua Panitia “Pelatihan ini, FKPT adakan sebagai jawaban atas analisa kami terhadap perkembangan karakter kader. Diakui atau tidak, arus globalisasi dan dunia modern semakin menggerus dan meracuni karakter dan perilaku remaja sekarang, tak terkecuali kader PMII disini. Maka dari itu, agenda ini sebagai stabilizer-nya”.

Pelatihan yang mengusung tema “Membumikan Basis Aswaja dengan Dzikir, Fikir dan Amal Shaleh” ini diikuti puluhan peserta delegasi dari kota-kota di pantura timur. Konsep yang ditawarkan FKPT pada pelatihan basis ini merupakan inovasi baru untuk lebih menunjang dan memenuhi kebutuhan kader dan masyarakatnya. Sisi spiritual di kalangan remaja sekarang ini, menjadi hal yang tidak asyik lagi untuk dipelajari, apalagi ditekuni. Kerinduan akan masyarakat yang religius, perilaku yang toleris, sosial yang harmonis menjadi point penting yang harus segera dipenuhi oleh setiap elemen masyarakat yang mengidam-idamkan baldatun thayyibatun.

Membekali para kader dengan pemahaman substansi Aswaja adalah hal mutlak yang harus kami lakukan, sebagai warga pergerakan nahdliyyin juga aktifis kampus, agar kaum muda tidak menjadi budak kapitalis dan borjuis” tambah Nur Sahrul.

Selama 4 hari peserta Pelatihan digembleng dengan rumusan-rumusan ke-aswajaan berikut supremasinya, sebagai bekal mereka mengawal masyarakatnya nanti, masyarakat humanis dan peka terhadap masalah yang muncul di sekitarnya.[]


Penulis        : Makmun Aryadi
                    Koordinator Biro Pers dan Jurnalistik
                    PMII Komisariat Ratu Kalinyamat Jepara

Mobile        : +62 8564 0988 491
Email          : aryoardhi24@gmail.com   

Baca Selengkapnya - Kuatkan Spiritual Melalui Pelatihan Basis Aswaja

Sabtu, 22 Desember 2012

FKPT Ke VI Rumuskan Basis

FKPT Ke VI Rumuskan Basis

Tanjung - Dalam pertemuan FKPT (Forum Komisariat Pantura Timur) Ke VI di Jati Karang Tanjung Kudus kemarin (4-5/11) sebagai lanjutan dari gagasan pada pertemuan di Cepu sebelumnya merumuskan Pelatihan Basis.

Forum Komisariat (FORKOM) Pantura Timur kembali mengadakan pertemuan, tepatnya PMII Komisariat Sunan Kudus STAIN Kudus sebagai tuan rumah penyelenggara. Forum ini semula didirikan bersama sebagai jawaban atas kegelisahan koordinasi komisariat-komisariat di jawa tengah, lebih-lebih  Ex-Karesidenan Pati. Forum ini diharapkan mampu merekatkan hubungan masing-masing komisariat, tukar informasi dan membahas langkah-langkah, mulai dari sistem pengkaderan, internal komisariat sampai pada masalah eksternal.

Dalam acara yang dimulai pukul 20.00-2.00 WIB di Kudus kemarin, setelah di Demak, Blora, Grobogan, Pati dan Cepu, berhasil merumuskan beberapa item kesepakatan bersama, berupa:

1.    Penguatan koordinasi antar Komisariat,
2.    Merekatkan hubungan antar Komisariat di masing-masing kota dan khususnya forum ini,
3.    Merumuskan Pelatihan Basis sebagai hasil rekomendasi dari FORKOM V di Cepu.

Setelah merumuskan beberapa item tersebut, selanjutnya pembahasan difokuskan pada konsepsi pelatihan basis. Dalam forum yang dipimpin sahabat Sidiq (Ketua Komisariat Sunan Kudus)  selaku tuan rumah memilih Jepara sebagai tuan rumah pelatihan kader mu’taqid ini.

“Pelatihan basis yang akan dilaksanakan di Jepara nanti mencoba mengangkat nuansa baru, yakni penguatan pada sisi religiuitas (Aswaja-red) sebagai upaya penguatan spiritual dari masalah klasik yang menjadi kebutuhan kader-kader PMII di pantura timur dan lebih cocok ketika dinamakan Pelatihan Basis ala Pantura Timur (dalam hal ini Jepara - red)” kata Muhlisin Ketua PMII Komisariat Ratu Kalinyamat INISNU Jepara.

“Sebelum ini, pelatihan basis yang diadakan lebih menekankan pada penguatan sisi ideologi seperti yang sering dilaksanakan oleh komisariat-komisariat di cilacap, yogyakarta dan sekitarnya. Maka terkesan aneh pelatihan nanti” tambah Otong – sapaan Muhlisin-.

Terobosan Baru

Sebagai hasil ijtihad, pelatihan yang akan memuat materi-materi Aswaja nanti mencoba menguatkan daya spiritual kita dalam memahami PMII, public, dan sosial kemasyarakatan. Pemateri-pemateri yang akan dihadirkan sebagai pemandu juga minimal lulusan S2 dan berkompenten pada bidang ini. Juga moderator dan pandampingnya – dalam rencana – minimal dari S1. Dari sisi peserta, lulus PKD adalah prioritas dan masing-masing komisariat mengirimkan 5 delegasi.

Hal ini menjadi bukti kesungguh-sungguhan komisariat-komisariat pantura timur dalam mengelola kaderisasinya. Adapun tanggal dan waktunya segera akan diinformasikan menunggu hasil keputusan pada pertemuan ketua-ketua komisariat nanti di Jepara.[ar/sk]
Baca Selengkapnya - FKPT Ke VI Rumuskan Basis

Transaksi Putusan di Peradilan

Transaksi Putusan di Peradilan
Oleh: Makmun Aryadi*

Jepara sebagai Kota Ukir lekat akan dunia furniturnya, ratusan juta bahkan milyaran rupiah beredar setiap harinya di perbankan seluruh Jepara. Hal ini tidak bisa dipungkiri, jika uang adalah orientasi yang mutlak bagi sebagian besar masyarakat kota kura-kura terbesar di dunia ini. Perputaran uang ini sampai pada seluruh aspek dan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Bahkan sampai ke wilayah arena peradilan.

Memang sering kali kita terjebak dalam orbit mainstream yang melenakan urat saraf gara-gara hanya masalah perut (uang –pen), semua hal menjadi halal untuk disantap bahkan diwariskan. Sebagai contoh nyata kasus yang diadvokasi oleh PMII Komisariat Ratu Kalinyamat dan BEM Fakultas Syari’ah INISNU Jepara, yakni kasus korban penganiayaan yang dijadikan tersangka dalam dakwaan perkaranya. Pada September – oktober 2012 di Pengadilan Negeri Jepara.

Putusan sidang tersebut akhir tetap memutuskan keringanan bagi tersangka (yang dalam hal ini, sebenarnya adalah korban - pen), walaupun JPU (Jaksa Penuntut Umum) dan 2 Pengacara ngotot memohon hakim agar tersangka dijatuhi hukuman sebesar-besarnya karena telah melanggar pasal 170 KUHP. Akan tetapi majelis hakim mencium sepak terjang dari saksi dan korban (yang dalam hal ini, sebenarnya adalah tersangka - pen) yang melakukan manipulasi data dan bukti. Alhasil tersangka dibebaskan karena tidak terbukti bersalah.

Menurut sumber W (tidak nama sebenarnya - pen), yang sejatinya pelaku telah rela menjual harta benda dan tanah senilai 40 jutaan guna memuluskan niat busuknya itu, kedua pengacara telah disumpal dengan uang tersebut untuk menuntut putusan yang seberat-beratnya. Tapi yang Allah lebih berhak atas semua hal, nyatanya walaupun telah diupayakan dengan transaksi uang, keadilan tetap berpihak pada orang yang tidak bersalah.

Menganalisa contoh  kasus nyata tersebut, kiranya kita sebagai masyarakat lebih-lebih mahasiswa yang katanya “Agent of social change” harus miris dengan nuansa money transactions, persetubuhan oknum peradilan dengan uang. Ini satu contoh kecil dari banyak contoh yang sering kita jumpai di media, banyak pejabat yang bermental korup, memulai karir dengan membayar sejumlah uang, akhir-akhir matanya berubah hijau ketika melihat uang, dan apapun tergadaikan karenanya.

Lahan-lahan basah bukan lagi hanya di area pemerintahan dan dinas-dinas, tetapi merangsek di area-area yang konon mengagungkan kejujuran dan keikhlasan, seperti peradilan dan pusat-pusat pendidikan, sekolah dan kampus pada umumnya. 

Sungguh ironis memang, inilah wajah asli negara ini, negara yang mengelu-elukan gotong-royong dan saling berbagi, tapi dimaknai dengan gotong-royong untuk kesejahteraan kroni atau keluarga dan saling berbagi dengan yang taat pada konsep bejatnya.

Pejabat yang propulis, pengacara yang memegang sumpah kejujurannya, pendidik yang ikhlas dengan pengabdiannya bahkan sampai kyai yang uzlah dan tidak gegabah dengan tawadlu’nya sudah jarang sekali untuk kita jumpai. Jikalau Presiden RI pertama Ir. Soekarno melihat bangsanya sekarang semacam ini, beliau pasti menangis tersedu-sedu, karena bangsa yang dibangun dan diimpikannya dengan pertumpahan darah, menjadi bangsa yang cinta dengan budaya korup dan anti rakyat kecil.[]

*Penulis adalah Mahasiswa semester VII Fakultas Syari’ah INISNU Jepara (kalau diakui) dan sekarang mengabdi sebagai Biro Pers dan Jurnalistik PMII Komisariat Ratu Kalinyamat INISNU Jepara.
Baca Selengkapnya - Transaksi Putusan di Peradilan

Pemimpin Ideal

Ilustrasi Aryo
Melihat trendsetter yang sering ditampilkan di media nasional, tak lekang wajah “ndeso” dan apa adanya muncul sebagai  sosok penyejuk di tengah dahaga rakyat Indonesia merindukan pemimpin yang “Nguwongke Uwong” (menghargai orang tanpa pandang bulu - pen). Pemimpin Ideal yang ditunggu-tunggu semua elemen masyarakat.

Di tengah hiruk pikuk badai korupsi yang menggerogoti bangsa ini, tampillah Joko Widodo yang akrab di sapa Jokowi sebagai contoh pemimpin yang propolis. Ketenarannya tidak lepas dari sepak terjangnya dalam memegang kendali pemerintahan Solo, dan sukses menjadikan Solo sebagai kota ketiga terbersih dari korupsi di dunia. 

Kota yang dulunya terkenal dengan Kota Preman dan PKL (Pedagang Kaki Lima) menjadi kota bebas preman karena gagasan Jokowi mengalokasikan tempat untuk rehabilitasi preman-preman tersebut. Orang Nomor 1 di DKI Jakarta ini juga merubah cara pembersihan PKL dengan cara mendekati mereka dari hati ke hati dan kemudian merapikankannya dengan santun dan merakyat. Dan masih banyak lagi kelebihan yang tidak diendus media, seperti tidak pernah mengambil gaji tunjangan selama menjabat sebagai bupati Solo, luar biasa.

Dari pencitraan yang dibangunnya Jokowi berhasil merebut hati masyarakat ibu kota dengan mengalahkan lawan politiknya di Pemilu DKI. Padahal dia bukan asli orang Jakarta mengalahkan kandidat asli betawi yang dari militer.

Di tengah popularitas Jokowi, muncul nama yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia, Dahlan Iskan ketua Mahkamah Konstitusi (MK-RI) berani lantang mengatakan ada sebagian DPR RI yang melakukan transaksi “suap” kepada BUMN, walaupun toh sekarang ini orang yang berawakan tambun ini di jerat pembalikan kasusnya, pemutar balikkan fakta mencoba menerkamnya.

Kita jeda sebentar, ada juga sosok yang seperti keduanya. Bahkan ada yang mengatakan Jokowi mirip dengan orang nomor 1 di USA ini. iya, Barrack Obama presiden Amerika Serikat. Usahanya dalam memperjuangkan kesetaraan ras kulit hitam bersanding dengan kulit putih juga kedamaian dunia menjadi politik tersendiri dalam pencitraannya dan berbuah manis dengan mengalahkan lawan politiknya Mitt Romney pemilihan Presiden Amerika 2012 ini.

Kemunculan Imam Mahdi

Melihat sepak terjang ketiga tokoh dunia ini, saya sedikit tersenyum dan selentingan nakal ini mengatakan mungkin ini rahasia Allah dengan memunculkan tokoh-tokoh yang rendah diri, apa adanya, memperjuangkan rakyat kecil dan jujur di tengah banyak pejabat korup yang selalu haus dengan harta dan jabatan.

Atau inilah tanda dari muncullah imam mahdi, karena Negara ini telah carut marut, orang yang kaya menginjak-injak orang jelata, orang jelata sombang dengan sedikit hartanya, fuqara’ masakin bertebaran di setiap penjuru kota dan desa, walaupun banyak didirikan gedung-gedung BAZ dan sejenisnya.
Kalau saja para pejabat kita seperti mereka, maka niscaya Negara ini akan cepat bangun dari keterpurukkan, Negara yang dipenuhi dengan orang-orang biadap, orang yang rakus akan gemerlapnya duniawi.[]

Baca Selengkapnya - Pemimpin Ideal

Minggu, 02 Desember 2012

The Power of Nekat [Kisah Nyata Penulis]


The Power of Nekat
[Kisah Nyata Penulis]

========================

Aku adalah seorang pemuda dari desa terpencil di pelosok wilayah kabupaten Pati, Desa Sarimulyo Kecamatan Winong tepatnya. Nama lengkapku sejak kecil Makmun Aryadi, dan orang-orang sering memanggilku dengan “Makmun”. Setelah menamatkan sekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri Winong tahun 2001, aku pergi ke Jepara untuk mengaji di pondok pesantren yang dikelola oleh Romo Kyai Abdullah Syafi’i.
========================

Awalnya tidak ada niatan untuk melanjutkan sekolah di SMA apalagi Perguruan Tinggi, sama sekali tidak pernah terpikir dalam anganku. Hari-hari kulalui dengan mengaji kitab kuning di malam hari lalu siangnya berkerja di perusahaan mebel. Bukan menjadi menejer atau staff, melainkan hanyalah menjadi buruh kasar atau orang Jepara lebih mengenalnya dengan “Ngamplas”, gaji yang aku dapatkan dari hasil keringatku sendiri ini sangat jauh dari lebih, tujuh ribu lima ratus rupiah (Rp. 7.500,-), tapi segala puji bagi Allah menjadikan rezeki ini cukup buat kebutuhan sehari-hari.

Siang kerja malam mengaji, begitulah keseharianku di pondok pesantren. Satu tahun berjalan, aku mulai berpikir, “Masak aku Ngamplas terus??”, akhirnya dengan nekat, kuberanikan diri untuk belajar menjadi tukang kayu. setengah tahun kemudian, aku telah bisa seperti layaknya tukang kayu yang lain di Jepara.

Tahun berganti tahun, masa-masa sulit itu selalu nyaman denganku, serba kekurangan dan keterbatasan menjadi menu wajib sarapanku. Empat tahun kemudian tepatnya 2005, perasaanku mulai tumbuh iri melihat anak-anak SMA/MA berlalu lalang di jalan saatku sedang bekerja. Ingin sekali rasanya aku seperti mereka, bersekolah dan memakai seragam. Kadang pikiran nakalku mempertanyakan nasibku yang malang ini, “Kenapa aku tidak mampu untuk bersekolah seperti mereka Ya Tuhan?” “Kenapa aku harus ditakdirkan lahir di tengah-tengah keluarga yang kurang mampu?”, padahal semasa SD dulu aku tidak pernah dapat rangking 3, rangking 2 pun hanya 2 kali, dan selebihnya selalu rangking 1.

Setelah merenung, aku pikir dalam-dalam, menjadi santri saja tidaklah cukup untuk bekal hidup di zaman sekarang ini, aku harus sekolah di sekolah formal, tapi….mana aku mampu untuk membayar biayanya, sedang selama aku hidup di Jepara, tidak pernah ada kiriman uang dari orang tuaku. 

Angin Semilir

Aku tidak ingin larut dengan lamunan yang tak pikir itu hanya sia-sia belaka, lalu aku kembali menjalani aktifitasku seperti biasanya lagi, ngaji dan bekerja. Di tengah asyikku bekerja, tiba-tiba tetangga pondok yang sering ngobrol denganku dating menghampiriku dan memberi informasi yang sangat melegakan perasaanku, iya Paket C (sekolah setara SMA) yang biayanya lebih murah dibanding sekolah formal, biayanya-pun bisa dicicil (diangsur) sesuai kondisi keuangan anak didik. Aku senang sekali waktu itu.

Tapi kenyataannya, realita tidak semulus yang aku harapkan. Romo Kyai tidak memberi izin untukku ikut sekolah Paket C dengan alasan sekolah membuat orang menjadi sombong dan suka menang sendiri apalagi kalau jadi pejabat, pasti rakus akan harta rakyat. Huft.. pupus harapanku. Dengan berat hati aku melepaskan cita-citaku. Sedih memang, tapi aku coba legawa dengan keadaan ini.

Tahun 2006, temanku kembali hadir  dan mengajakku untuk meneruskan mimpiku untuk bersekolah. Akhirnya dengan semangat “45” aku nekat mendaftarkan diri di paket C. sampai pada tahun 2007, ijin yang aku sangat tunggu-tunggu keluar juga, dengan penuh ceria aku menyelesaikan sekolahku, walaupun toh hanya lewat paket C, tidak apa-apalah yang terpenting bagiku, ini sebagai bekalku untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya di perguruan tinggi, walau tidak ada subsidi dari orang tua, kerja sebagai tukang kayu di “Brak” (perusahaan rumahan) aku cukup-cukupkan untuk menyongsong cita-cita.

Tantangan Sebuah Impian

Tahun 2009,  rasa syukur yang mendalam tercurah ketika hasil kelulusan diinformasikan, gambaran ngampus pun semakin kuat menggelitik ruang bawah sadarku. Tepatnya juni 2009 aku mendaftar di salah satu perguruan tinggi swasta di Jepara, kota yang kecil, kaya akan potensi lautnya dan alamnya. Waktu semakin berjalan dan kulaluinya dengan penuh semangat dan pantang putus asa, walaupun kadang waktuku terbagi untuk mencari biaya kuliah dan kebutuhan sehari-hari.

Keseharianku hampir aku habiskan di kampus, akupun masuk dan aktif di beberapa organisasi di kampus, jiwa pergerakan dan jurnalistik menjadi kuliah kedua bagiku, dan akupun menekuninya. Banyak pengalaman berharga yang aku dapatkan, mulai dari pengembangan diri, motivasi untuk berubah, menejerial sebuah institusi, kemampuan leadership sampai pada etos kerja.

Tahun 2010, tepatnya aku sedang berjuang di semester 4 Fakultas Syari’ah, inilah petualangan dan tantangan baru dimulai, aku terpilih menjadi pimpinan di sebuah redaksi kampus, ini hal diluar dugaanku, aku tidak pernah terjun di sebuah redaksi, tetapi teman jurnalis menaruh kepercayaan itu padaku.

Awalnya aku bingung harus berbuat apa, penerbitan majalah adalah target dari redaksiku, waktu 4 bulan bukanlah waktu yang panjang buat orang awam sepertiku untuk menyukseskan penerbitan majalah ini. Disela-sela lelah kami dalam redaksi, “Teh Sosro” (sebelum kita kenal Joy Tea) menjadi menu favorit untuk merefresh otak kami yang lagi sumpek, “seger ya kita minum the sosro, bikin damai rasanya hehhe….”, begitu seloroh kami, dan kebiasaan seperti itu itulah cara khusus kami menyegarkan suasana yang menjenuhkan. Sampai-sampai ada slogan “Jenuh???, teh sosro aja”.

Diawali dengan rapat-rapat redaksi, peliputan, pengumpulan artikel, editing, layout dan terakhir launching majalah. Semua konsep sudah fix, sebagian tugas pun sudah mulai dijalankan, satu yang masih menjadi kendala yang menurut kami ini bukan hal sepele, ya pendanaan. Maklumlah organisasi kampus kami hanya punya saving dana 30% dari total kebutuhan redaksi selama satu periode karena memang kampus kecil, jadi kami harus melakukan kerja ekstra untuk memenuhi kebutuhan itu.

Berjalan 3 bulan, proses redaksi sudah selesai hampir 80%, tinggal layout dan memikirkan biaya penerbitan. Masalah ini coba aku share-kan dengan teman-teman redaksi, tapi bukan solusi yang aku dapat melainkan mereka malah down dengan keadaan ini. Dalam benakku, “Kalau layout bukan hambatan berarti, dan bisa ditangani. Tetapi untuk dana ini yang harus dipecahkan dan sebagai pimpinan umum, ini tanggung jawabku, aku harus menyelesaikan masalah ini”.

Berbagai koneksi coba aku loby, sampai muter-muter ke dinas-dinas juga aku sambangi, tapi malang menyekapku, hampir semua tidak bisa membantu. Aku berpikir keras soal ini, aku berhenti sejenak di halte bis, rencana awal ingin melepas lelah biar tidak penat. Aku amati sekelilingku, “kayaknya aku liat sesuatu di sebuah toserba, itu apa ya, the sosro atau bukan?” pikirku. Kemudian aku dekati, aku Tanya sama penjualnya, “ini minuman apa ya bu?”, penjual menjawab, “ow itu Joy Tea, produk baru dari Sosro”. Batinku penasaran, dan ragu bahwa itu produk baru sosro, aku beli, aku amati benar tidak ini dari sosro, dan ternyata ini memang dari sosro seketika itu juga langsung aku tenggak minuman botol ini, “woow, luar biasa, bener2 sriwinggg (seger) rasanya, pas banget dengan keywordnya”Tenangkan Diri dengan Joytea”” dalam benakku.  

Sehabis minum Joy Tea aku punya ide menyelesaikan sisi pendanaan, akhirnya dengan memusatkan tekad dan kerelaan “okelah aku gadaikan motor kesayanganku (hasil kerja kerasku) ini, biar uangnya digunakan untuk biaya penerbitan”. Pikirku, ini tanggung jawab yang aku pikul, aku jugalah yang harus menyelesaikannya, walaupun akulah yang menjadi korban, tidak masalah. Ini urusan sosial jadi  apapun yang aku lakukan bukanlah menjadi sebuah hutang.

Dengan nekat, aku bergegas mendatangi temanku untuk menggadaikan motorku enam bulan, dia setuju, bahagia rasanya, seneng banget tiada terkira. Langsung aku cek ke bagian layouter-nya. “Gimana sob, layout majalahnya udah siap terbit?”, dia jawab, “sudah siap bos, lha trus gimana dananya?”, aku jawab, “sukses sob, oke gak masalah dan udah siap”.

Langsung saja kita meluncur ke percetakan, negosiasi harga dan deal. Tiga hari kita menuggu sesuai kesepakatan, handphoneku bordering, “halo, ini majalahnya sudah jadi, diambil kapan?”, jawabku dengan mantap, “sekarang bos”. Karena konsep sudah matang, keesokan harinya kita Launching majalah kita edisi terbaru, majalah yang penuh arti, penuh perjuangan.

Pasca launching, banyak apresiasi positif dari berbagai pihak, kata mereka “selamat ya, ini bagus sekali, kamu memang luar biasa mampu menerbitkan ini, sebelum-sebelumnya tidak sebagus majalah ini, saya rasa inilah era keemasan redaksi ini dimulai”. Aku tersenyum simpul mendengarnya, terima kasih Tuhan, ternyata benar “Banyak jalan menuju Roma”. 

“Keberhasilan impian besar kita, itu tergantung dari seberapa ulet kita memunguti hal yang terkecil, karena hal yang kecil itu seringkali kita lupakan”.

Dari pengalaman ini, aku banyak mendulang pelajaran, “Dalam hidup, kita butuh perjuangan (apapun itu), tak ada hal yang tak mungkin selama kita yakin dan berusaha“. Terkadang nekat juga menjadi senjata ampuh disaat kita terpuruk, maka bersabarlah dan selalu berusaha. Semoga dari pengalamanku ini, banyak nilai positif yang pembaca ambil, juga sebagai motivasi kita dalam memulai suatu hal, lebih-lebih sesuatu yang hamper-hampir mustahil, tapi percayalah…!!


*************************
Penulis sekaligus Pelaku:
MAKMUN ARYADI
Email : aryoardhi24@gmail.com
Fb: facebook.com/aryo.pohan
Twitter: @JhondPohan

Baca Selengkapnya - The Power of Nekat [Kisah Nyata Penulis]