Transaksi Putusan di Peradilan
Oleh: Makmun Aryadi*
Oleh: Makmun Aryadi*
Jepara sebagai Kota Ukir lekat akan dunia furniturnya, ratusan juta bahkan milyaran rupiah beredar setiap harinya di perbankan seluruh Jepara. Hal ini tidak bisa dipungkiri, jika uang adalah orientasi yang mutlak bagi sebagian besar masyarakat kota kura-kura terbesar di dunia ini. Perputaran uang ini sampai pada seluruh aspek dan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Bahkan sampai ke wilayah arena peradilan.
Memang sering kali kita terjebak dalam orbit mainstream yang melenakan urat saraf gara-gara hanya masalah perut (uang –pen), semua hal menjadi halal untuk disantap bahkan diwariskan. Sebagai contoh nyata kasus yang diadvokasi oleh PMII Komisariat Ratu Kalinyamat dan BEM Fakultas Syari’ah INISNU Jepara, yakni kasus korban penganiayaan yang dijadikan tersangka dalam dakwaan perkaranya. Pada September – oktober 2012 di Pengadilan Negeri Jepara.
Putusan sidang tersebut akhir tetap memutuskan keringanan bagi tersangka (yang dalam hal ini, sebenarnya adalah korban - pen), walaupun JPU (Jaksa Penuntut Umum) dan 2 Pengacara ngotot memohon hakim agar tersangka dijatuhi hukuman sebesar-besarnya karena telah melanggar pasal 170 KUHP. Akan tetapi majelis hakim mencium sepak terjang dari saksi dan korban (yang dalam hal ini, sebenarnya adalah tersangka - pen) yang melakukan manipulasi data dan bukti. Alhasil tersangka dibebaskan karena tidak terbukti bersalah.
Menurut sumber W (tidak nama sebenarnya - pen), yang sejatinya pelaku telah rela menjual harta benda dan tanah senilai 40 jutaan guna memuluskan niat busuknya itu, kedua pengacara telah disumpal dengan uang tersebut untuk menuntut putusan yang seberat-beratnya. Tapi yang Allah lebih berhak atas semua hal, nyatanya walaupun telah diupayakan dengan transaksi uang, keadilan tetap berpihak pada orang yang tidak bersalah.
Menganalisa contoh kasus nyata tersebut, kiranya kita sebagai masyarakat lebih-lebih mahasiswa yang katanya “Agent of social change” harus miris dengan nuansa money transactions, persetubuhan oknum peradilan dengan uang. Ini satu contoh kecil dari banyak contoh yang sering kita jumpai di media, banyak pejabat yang bermental korup, memulai karir dengan membayar sejumlah uang, akhir-akhir matanya berubah hijau ketika melihat uang, dan apapun tergadaikan karenanya.
Lahan-lahan basah bukan lagi hanya di area pemerintahan dan dinas-dinas, tetapi merangsek di area-area yang konon mengagungkan kejujuran dan keikhlasan, seperti peradilan dan pusat-pusat pendidikan, sekolah dan kampus pada umumnya.
Sungguh ironis memang, inilah wajah asli negara ini, negara yang mengelu-elukan gotong-royong dan saling berbagi, tapi dimaknai dengan gotong-royong untuk kesejahteraan kroni atau keluarga dan saling berbagi dengan yang taat pada konsep bejatnya.
Pejabat yang propulis, pengacara yang memegang sumpah kejujurannya, pendidik yang ikhlas dengan pengabdiannya bahkan sampai kyai yang uzlah dan tidak gegabah dengan tawadlu’nya sudah jarang sekali untuk kita jumpai. Jikalau Presiden RI pertama Ir. Soekarno melihat bangsanya sekarang semacam ini, beliau pasti menangis tersedu-sedu, karena bangsa yang dibangun dan diimpikannya dengan pertumpahan darah, menjadi bangsa yang cinta dengan budaya korup dan anti rakyat kecil.[]
*Penulis adalah Mahasiswa semester VII Fakultas Syari’ah INISNU Jepara (kalau diakui) dan sekarang mengabdi sebagai Biro Pers dan Jurnalistik PMII Komisariat Ratu Kalinyamat INISNU Jepara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar