The Power of Nekat
[Kisah Nyata Penulis]
========================
Aku adalah seorang pemuda dari desa terpencil di pelosok wilayah kabupaten Pati, Desa Sarimulyo Kecamatan Winong tepatnya. Nama lengkapku sejak kecil Makmun Aryadi, dan orang-orang sering memanggilku dengan “Makmun”. Setelah menamatkan sekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri Winong tahun 2001, aku pergi ke Jepara untuk mengaji di pondok pesantren yang dikelola oleh Romo Kyai Abdullah Syafi’i.
========================
Awalnya tidak ada niatan untuk melanjutkan sekolah di SMA apalagi Perguruan Tinggi, sama sekali tidak pernah terpikir dalam anganku. Hari-hari kulalui dengan mengaji kitab kuning di malam hari lalu siangnya berkerja di perusahaan mebel. Bukan menjadi menejer atau staff, melainkan hanyalah menjadi buruh kasar atau orang Jepara lebih mengenalnya dengan “Ngamplas”, gaji yang aku dapatkan dari hasil keringatku sendiri ini sangat jauh dari lebih, tujuh ribu lima ratus rupiah (Rp. 7.500,-), tapi segala puji bagi Allah menjadikan rezeki ini cukup buat kebutuhan sehari-hari.
Siang kerja malam mengaji, begitulah keseharianku di pondok pesantren. Satu tahun berjalan, aku mulai berpikir, “Masak aku Ngamplas terus??”, akhirnya dengan nekat, kuberanikan diri untuk belajar menjadi tukang kayu. setengah tahun kemudian, aku telah bisa seperti layaknya tukang kayu yang lain di Jepara.
Tahun berganti tahun, masa-masa sulit itu selalu nyaman denganku, serba kekurangan dan keterbatasan menjadi menu wajib sarapanku. Empat tahun kemudian tepatnya 2005, perasaanku mulai tumbuh iri melihat anak-anak SMA/MA berlalu lalang di jalan saatku sedang bekerja. Ingin sekali rasanya aku seperti mereka, bersekolah dan memakai seragam. Kadang pikiran nakalku mempertanyakan nasibku yang malang ini, “Kenapa aku tidak mampu untuk bersekolah seperti mereka Ya Tuhan?” “Kenapa aku harus ditakdirkan lahir di tengah-tengah keluarga yang kurang mampu?”, padahal semasa SD dulu aku tidak pernah dapat rangking 3, rangking 2 pun hanya 2 kali, dan selebihnya selalu rangking 1.
Setelah merenung, aku pikir dalam-dalam, menjadi santri saja tidaklah cukup untuk bekal hidup di zaman sekarang ini, aku harus sekolah di sekolah formal, tapi….mana aku mampu untuk membayar biayanya, sedang selama aku hidup di Jepara, tidak pernah ada kiriman uang dari orang tuaku.
Angin Semilir
Aku tidak ingin larut dengan lamunan yang tak pikir itu hanya sia-sia belaka, lalu aku kembali menjalani aktifitasku seperti biasanya lagi, ngaji dan bekerja. Di tengah asyikku bekerja, tiba-tiba tetangga pondok yang sering ngobrol denganku dating menghampiriku dan memberi informasi yang sangat melegakan perasaanku, iya Paket C (sekolah setara SMA) yang biayanya lebih murah dibanding sekolah formal, biayanya-pun bisa dicicil (diangsur) sesuai kondisi keuangan anak didik. Aku senang sekali waktu itu.
Tapi kenyataannya, realita tidak semulus yang aku harapkan. Romo Kyai tidak memberi izin untukku ikut sekolah Paket C dengan alasan sekolah membuat orang menjadi sombong dan suka menang sendiri apalagi kalau jadi pejabat, pasti rakus akan harta rakyat. Huft.. pupus harapanku. Dengan berat hati aku melepaskan cita-citaku. Sedih memang, tapi aku coba legawa dengan keadaan ini.
Tahun 2006, temanku kembali hadir dan mengajakku untuk meneruskan mimpiku untuk bersekolah. Akhirnya dengan semangat “45” aku nekat mendaftarkan diri di paket C. sampai pada tahun 2007, ijin yang aku sangat tunggu-tunggu keluar juga, dengan penuh ceria aku menyelesaikan sekolahku, walaupun toh hanya lewat paket C, tidak apa-apalah yang terpenting bagiku, ini sebagai bekalku untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya di perguruan tinggi, walau tidak ada subsidi dari orang tua, kerja sebagai tukang kayu di “Brak” (perusahaan rumahan) aku cukup-cukupkan untuk menyongsong cita-cita.
Tantangan Sebuah Impian
Tahun 2009, rasa syukur yang mendalam tercurah ketika hasil kelulusan diinformasikan, gambaran ngampus pun semakin kuat menggelitik ruang bawah sadarku. Tepatnya juni 2009 aku mendaftar di salah satu perguruan tinggi swasta di Jepara, kota yang kecil, kaya akan potensi lautnya dan alamnya. Waktu semakin berjalan dan kulaluinya dengan penuh semangat dan pantang putus asa, walaupun kadang waktuku terbagi untuk mencari biaya kuliah dan kebutuhan sehari-hari.
Keseharianku hampir aku habiskan di kampus, akupun masuk dan aktif di beberapa organisasi di kampus, jiwa pergerakan dan jurnalistik menjadi kuliah kedua bagiku, dan akupun menekuninya. Banyak pengalaman berharga yang aku dapatkan, mulai dari pengembangan diri, motivasi untuk berubah, menejerial sebuah institusi, kemampuan leadership sampai pada etos kerja.
Tahun 2010, tepatnya aku sedang berjuang di semester 4 Fakultas Syari’ah, inilah petualangan dan tantangan baru dimulai, aku terpilih menjadi pimpinan di sebuah redaksi kampus, ini hal diluar dugaanku, aku tidak pernah terjun di sebuah redaksi, tetapi teman jurnalis menaruh kepercayaan itu padaku.
Awalnya aku bingung harus berbuat apa, penerbitan majalah adalah target dari redaksiku, waktu 4 bulan bukanlah waktu yang panjang buat orang awam sepertiku untuk menyukseskan penerbitan majalah ini. Disela-sela lelah kami dalam redaksi, “Teh Sosro” (sebelum kita kenal Joy Tea) menjadi menu favorit untuk merefresh otak kami yang lagi sumpek, “seger ya kita minum the sosro, bikin damai rasanya hehhe….”, begitu seloroh kami, dan kebiasaan seperti itu itulah cara khusus kami menyegarkan suasana yang menjenuhkan. Sampai-sampai ada slogan “Jenuh???, teh sosro aja”.
Diawali dengan rapat-rapat redaksi, peliputan, pengumpulan artikel, editing, layout dan terakhir launching majalah. Semua konsep sudah fix, sebagian tugas pun sudah mulai dijalankan, satu yang masih menjadi kendala yang menurut kami ini bukan hal sepele, ya pendanaan. Maklumlah organisasi kampus kami hanya punya saving dana 30% dari total kebutuhan redaksi selama satu periode karena memang kampus kecil, jadi kami harus melakukan kerja ekstra untuk memenuhi kebutuhan itu.
Berjalan 3 bulan, proses redaksi sudah selesai hampir 80%, tinggal layout dan memikirkan biaya penerbitan. Masalah ini coba aku share-kan dengan teman-teman redaksi, tapi bukan solusi yang aku dapat melainkan mereka malah down dengan keadaan ini. Dalam benakku, “Kalau layout bukan hambatan berarti, dan bisa ditangani. Tetapi untuk dana ini yang harus dipecahkan dan sebagai pimpinan umum, ini tanggung jawabku, aku harus menyelesaikan masalah ini”.
Berbagai koneksi coba aku loby, sampai muter-muter ke dinas-dinas juga aku sambangi, tapi malang menyekapku, hampir semua tidak bisa membantu. Aku berpikir keras soal ini, aku berhenti sejenak di halte bis, rencana awal ingin melepas lelah biar tidak penat. Aku amati sekelilingku, “kayaknya aku liat sesuatu di sebuah toserba, itu apa ya, the sosro atau bukan?” pikirku. Kemudian aku dekati, aku Tanya sama penjualnya, “ini minuman apa ya bu?”, penjual menjawab, “ow itu Joy Tea, produk baru dari Sosro”. Batinku penasaran, dan ragu bahwa itu produk baru sosro, aku beli, aku amati benar tidak ini dari sosro, dan ternyata ini memang dari sosro seketika itu juga langsung aku tenggak minuman botol ini, “woow, luar biasa, bener2 sriwinggg (seger) rasanya, pas banget dengan keywordnya”Tenangkan Diri dengan Joytea”” dalam benakku.
Sehabis minum Joy Tea aku punya ide menyelesaikan sisi pendanaan, akhirnya dengan memusatkan tekad dan kerelaan “okelah aku gadaikan motor kesayanganku (hasil kerja kerasku) ini, biar uangnya digunakan untuk biaya penerbitan”. Pikirku, ini tanggung jawab yang aku pikul, aku jugalah yang harus menyelesaikannya, walaupun akulah yang menjadi korban, tidak masalah. Ini urusan sosial jadi apapun yang aku lakukan bukanlah menjadi sebuah hutang.
Dengan nekat, aku bergegas mendatangi temanku untuk menggadaikan motorku enam bulan, dia setuju, bahagia rasanya, seneng banget tiada terkira. Langsung aku cek ke bagian layouter-nya. “Gimana sob, layout majalahnya udah siap terbit?”, dia jawab, “sudah siap bos, lha trus gimana dananya?”, aku jawab, “sukses sob, oke gak masalah dan udah siap”.
Langsung saja kita meluncur ke percetakan, negosiasi harga dan deal. Tiga hari kita menuggu sesuai kesepakatan, handphoneku bordering, “halo, ini majalahnya sudah jadi, diambil kapan?”, jawabku dengan mantap, “sekarang bos”. Karena konsep sudah matang, keesokan harinya kita Launching majalah kita edisi terbaru, majalah yang penuh arti, penuh perjuangan.
Pasca launching, banyak apresiasi positif dari berbagai pihak, kata mereka “selamat ya, ini bagus sekali, kamu memang luar biasa mampu menerbitkan ini, sebelum-sebelumnya tidak sebagus majalah ini, saya rasa inilah era keemasan redaksi ini dimulai”. Aku tersenyum simpul mendengarnya, terima kasih Tuhan, ternyata benar “Banyak jalan menuju Roma”.
“Keberhasilan impian besar kita, itu tergantung dari seberapa ulet kita memunguti hal yang terkecil, karena hal yang kecil itu seringkali kita lupakan”.
Dari pengalaman ini, aku banyak mendulang pelajaran, “Dalam hidup, kita butuh perjuangan (apapun itu), tak ada hal yang tak mungkin selama kita yakin dan berusaha“. Terkadang nekat juga menjadi senjata ampuh disaat kita terpuruk, maka bersabarlah dan selalu berusaha. Semoga dari pengalamanku ini, banyak nilai positif yang pembaca ambil, juga sebagai motivasi kita dalam memulai suatu hal, lebih-lebih sesuatu yang hamper-hampir mustahil, tapi percayalah…!!
*************************
Penulis sekaligus Pelaku:
MAKMUN ARYADI
Email : aryoardhi24@gmail.com
Fb: facebook.com/aryo.pohan
Twitter: @JhondPohan